Sebuah restoran yang berada di Ciparay Bandung, saya menyebutnya dengan restoran orange. Karena restoran tersebut di dominasi dengan warna oranye
Restoran oranye Ciparay Bandung, menyisakan sebuah ruang kosong dan menyimpan rekam pada saat restoran ini masih beroperasi ( foto : Saepul Permana )
Sore itu, tepat pukul empat, langit Bandung diselimuti mendung. Awan kelabu menggantung, seolah menahan deras hujan yang belum juga turun. Cahaya matahari hanya menyusup tipis, memberi kesan muram pada jalanan. Di dalam hati, ada rasa was-was kalau hujan tiba-tiba mengguyur, tapi ada pula dorongan kuat untuk tetap melanjutkan perjalanan. Hari itu saya berencana mengunjungi sebuah restoran tua di kawasan Ciparay—bangunan berwarna oranye yang sudah lama terbengkalai.
Saya menyiapkan segala kemungkinan sebelum berangkat. Helm sudah terpasang, jas hujan saya lipat rapi dan masukkan ke dalam tas, serta sebuah termos kecil berisi teh hangat yang sengaja saya bawa. Bukan untuk berlama-lama di jalan, melainkan sebagai teman singkat kalau saya memilih berhenti sejenak di warung atau tempat teduh. Ada sesuatu yang aneh dalam persiapan itu: saya tahu destinasi saya bukan tempat nyaman, bukan kafe estetik dengan kursi empuk, melainkan sebuah bangunan tua yang ditinggalkan. Namun, entah mengapa, justru kesunyian semacam itu yang ingin saya temui.
Perjalanan Menuju Ciparay
Jalan menuju Ciparay cukup ramai sore itu. Deru motor, mobil pribadi, hingga truk besar saling berlomba menyalip. Saya memilih melaju dengan tenang. Bagi saya, perjalanan bukan tentang siapa yang lebih dulu sampai, melainkan tentang bagaimana bisa tiba dengan selamat dan tetap bisa menikmati setiap detiknya. Kadang saya terkejut oleh kendaraan dari belakang yang melintas terlalu dekat, tapi saya lebih sering memilih mengalah. Saya membiarkan mereka mendahului, membayangkan mereka seperti ambulan atau mobil pemadam yang sedang terburu-buru.
Kemacetan sempat menghadang di tengah perjalanan. Saya mengira ada kecelakaan atau peristiwa besar, ternyata hanya sebuah truk mogok yang menutup sebagian badan jalan. Suara klakson bersahut-sahutan, kesabaran para pengendara diuji. Di tengah hiruk pikuk itu, tiba-tiba suara petir menggelegar. Dentumannya membuat dada saya sedikit bergetar. Kekhawatiran muncul—jangan-jangan hujan turun sebelum saya sempat tiba. Namun, setelah melewati truk itu, jalan mulai lancar. Saya memacu motor sedikit lebih cepat, berharap bisa sampai sebelum langit menumpahkan airnya.
Pertemuan dengan Restoran Oranye
Akhirnya, restoran oranye itu tampak di depan mata. Dari jauh, warnanya memang masih oranye, tapi pudar, seakan kelelahan menahan waktu. Tak ada riuh pengunjung, tak ada suara canda atau tawa. Hanya sunyi yang pekat, ditambah semak liar yang tumbuh di sekitar halaman. Bangunan itu berdiri seperti tubuh renta yang ditinggalkan, masih kokoh, namun kehilangan nyawanya.
Saya memarkir motor di depan, lalu menguncinya dengan hati-hati. Di sekitar bangunan, tak ada penjaga atau tempat parkir resmi. Semua bergantung pada kehati-hatian sendiri. Setelah itu, saya berdiri sejenak di depan pintu restoran. Saya memejamkan mata, menarik napas panjang. Aroma debu langsung menyergap, bercampur bau khas bangunan tua. Aroma itu seperti menegaskan: tempat ini sudah lama kosong.
Saya mulai memotret. Kamera saya arahkan ke bagian depan restoran yang dipenuhi debu. Rumput liar merayap di lantai dan tembok, menandai betapa lamanya manusia tak lagi menginjakkan kaki. Saat memasuki sebuah ruangan kecil, saya sedikit terkejut. Ada tumpukan pakaian lusuh di atas kardus, seperti alas tidur seadanya. Apakah ada yang pernah singgah di sini? Mungkin seorang tunawisma, mungkin seseorang yang sekadar butuh atap sementara. Saya hanya bisa menebak-nebak.
Di ruangan sebelah, pakaian lain tergantung di seutas tali, sementara di tembok ada coretan tulisan yang saya tak pahami artinya. Entah siapa yang menuliskannya, entah pesan apa yang ingin disampaikan. Saya memilih untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.
Tumpukan pakaian dan kardus, di ruangan kosong ( Foto : Saepul Permana )
Pakaian yang tergantung di seutas tali, beserta tulisan yang saya tidak mengerti ( Foto : Saepul Permana )
Suara yang Tersisa
Berdiri di tengah bangunan kosong itu, saya merasa seperti mendengarkan rekaman lama. Tidak ada hantu, tidak ada penampakan. Yang ada hanya gema bayangan masa lalu. Sama seperti ketika saya pernah berkunjung ke rumah terbengkalai di Jelekong, yang terasa bukan kengerian, melainkan potongan-potongan kenangan: suara gamelan, percakapan keluarga, atau sekadar hening yang begitu dalam.
Lorong sempit saya telusuri. Botol bekas minuman keras masih tersisa, bersama sisa makanan busuk yang menebarkan bau tidak sedap. Dua toilet berdampingan masih punya penanda samar: pria dan wanita. Di sampingnya, ada mushola kecil. Menariknya, kaligrafi di dalam mushola itu masih terlihat utuh dan cerah, kontras dengan cat dinding di sekitarnya yang mulai pudar dan retak. Di depannya ada bak wudhu dengan atap miring, seakan menunggu waktu untuk roboh.
Saya melanjutkan langkah ke sebuah ruangan kecil yang tampaknya mes karyawan. Rak dinding masih menempel, kosong, kecuali satu bungkusan kondom yang membuat saya terdiam. Sekilas muncul dugaan—apakah tempat ini pernah digunakan untuk sesuatu yang menyimpang? Saya tidak ingin mendalami lebih jauh. Biarlah rahasia itu tetap terkubur di balik tembok.
Di sudut lain, saya menemukan dua tungku api dengan kawat bekas panggangan. Seolah menegaskan: dulu, tempat ini pernah hidup, pernah hangat, pernah menjadi ruang kebersamaan.
Baca juga
Antara Mitos dan Fakta
Mengapa restoran ini terbengkalai? Pertanyaan itu berputar di kepala saya. Ada yang bilang karena persaingan bisnis. Memang, di sampingnya berdiri rumah makan lain yang lebih megah dan masih ramai hingga kini. Logis jika sebuah usaha tumbang karena kalah bersaing.
Namun, ada pula cerita lain dari masyarakat: katanya restoran ini ditutup karena teluh atau guna-guna. Cerita mistis yang sering muncul di balik kegagalan bisnis. Saya memilih tidak mempercayainya sepenuhnya. Bagi saya, bangunan ini hanyalah saksi dari perjalanan waktu—apakah kalah bersaing, atau sekadar salah urus.
Teh, Rokok, dan Hujan
Langit akhirnya menumpahkan hujan deras. Saya berteduh di bagian belakang restoran, mencari tempat duduk seadanya. Dari tas, saya mengeluarkan termos kecil, menuangkan teh hangat ke dalam gelas, lalu menyalakan sebatang rokok. Asap rokok bercampur dengan uap teh, mengepul di udara dingin yang makin menusuk tulang.
Di momen itu, saya merasa benar-benar sendirian. Tidak ada suara manusia lain, hanya deru hujan yang jatuh ke kolam dan sawah di belakang. Sunyi, tapi menenangkan. Saya membuka buku catatan kecil, menulis apa saja yang saya rasakan: dingin, kesepian, tapi juga ketenangan yang aneh.
Ketika hujan mereda, saya segera berkemas. Semua barang saya masukkan kembali ke tas. Saya membersihkan motor yang basah, lalu memanaskannya. Dengan pelan, saya meninggalkan restoran oranye itu, kembali ke jalanan yang ramai.
Refleksi: Luka dan Suara yang Tertinggal
Dalam perjalanan pulang, pikiran saya dipenuhi bayangan restoran itu. Bangunan berwarna oranye yang dulunya cerah kini tinggal retakan dan debu. Namun bagi saya, retakan itu bukan hanya tanda kehancuran, melainkan juga catatan waktu. Sama seperti manusia, bangunan pun punya kisahnya sendiri.
Yang saya dengar bukan suara hantu, melainkan gema masa lalu. Suara tamu yang pernah tertawa, keluarga yang pernah makan bersama, anak-anak yang berlarian di halaman. Semua itu seperti masih terpatri di udara, menunggu didengar oleh siapa saja yang sudi berhenti sejenak.
Cerita masyarakat tentang persaingan atau teluh hanyalah bumbu. Yang nyata adalah kesunyian yang bisa kita rasakan, dan jejak kehidupan yang masih menempel meski tipis. Restoran oranye Ciparay, dengan segala kesepiannya, memberi saya pelajaran sederhana: bahwa setiap tempat yang ditinggalkan tetap menyimpan suara, dan kita yang mendatangi hanya berperan sebagai pendengar yang terlambat.
Penutup Puitis
Pada akhirnya, saya meninggalkan restoran oranye itu seperti seseorang yang meninggalkan masa lalu—ada rasa berat, ada rasa hampa, namun juga ada kedamaian yang perlahan mengendap. Hujan yang barusan turun seakan membasuh debu kenangan, sementara jalan pulang membawa saya pada kesadaran sederhana: kesunyian bukan berarti kehampaan, melainkan ruang di mana gema masa lalu berbisik lembut. Restoran itu tetap berdiri, dengan luka retakan dan warna yang pudar, tapi di dalamnya masih ada suara yang tak akan hilang—suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau berhenti, menunduk, dan mendengarkan.
#abandonedpalace #ruangterbengkalai #ciparay #bandung #fotografi
***
Untuk foto selengkapnya bisa follow Instagram
Kategori
Tempat Terbengkalai