catatan dari sebuah musik yang mengalun dalam ruangan pribadi, musik ini memang tidak ada vokal tapi musik ini bagiku penuh akan makna
Ada sesuatu yang selalu memikat dari pertemuan dua hal yang tampaknya mustahil untuk bersatu. Gitar metal dengan distorsinya yang meraung, cepat, penuh amarah, dan seakan menghancurkan segalanya—dipertemukan dengan biola, instrumen yang biasanya identik dengan kelembutan, keanggunan, dan lirihnya elegi. Ketika keduanya menyatu, lahirlah suara yang sulit dijelaskan: perpaduan antara kecepatan dan lirih, amarah dan kelembutan, kehancuran dan keindahan. Sebuah musik yang tidak sekadar terdengar, melainkan terasa.
Di kepala saya, selalu muncul satu gambaran: sosok tengkorak berjubah hitam, berdiri di tengah panggung gelap. Tangannya memegang biola, bukan pedang, bukan gitar listrik, melainkan biola sederhana yang seakan mampu merobek keheningan. Tengkorak itu adalah wajah lain dari diri saya, wajah yang di masa depan mungkin akan saya jumpai—dingin, penuh luka, namun tetap bertahan dengan musik sebagai satu-satunya cara untuk hidup.
Sudah lama saya mendengar musik seperti ini, tapi entah mengapa ia sempat menghilang dari keseharian. Mungkin karena hidup terlalu sibuk, atau karena saya sengaja menyingkirkannya agar tidak terlalu larut dalam emosi yang ditawarkan. Namun malam ini, ia kembali. Dengan keras, dengan jujur, dengan keindahan yang hancur.
Rokok menyala di tangan, teh mengepul di meja, asapnya naik perlahan ke atas, dan musik itu mengalun. Saya merasakan sesuatu yang berbeda: rileks, tenang, namun sekaligus ada darah yang berdesir hangat, seakan-akan tubuh saya dipenuhi semangat baru.
Baca juga : Catatan Agustus: Cinta yang Kembali, Kenangan yang Tak Pernah Pergi
Musik Sebagai Wajah Kekacauan
Saat mendengar dentuman metal yang disayat oleh biola, saya tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa di luar sana negeri ini sedang ramai oleh demo. Suara teriakan, suara peluit, langkah kaki ribuan orang, dan gelegar amarah massa memenuhi jalanan. Kekacauan ini seperti simfoni yang liar, dan anehnya, musik metal x biola adalah representasi yang paling jujur.
Metal menjadi simbol amarah kolektif: keras, bising, tanpa kompromi. Sedangkan biola menjadi simbol hati yang tetap lirih di tengah semua teriakan itu: perasaan orang-orang kecil, rasa lelah, dan harapan agar segalanya tidak hanya berakhir pada kehancuran.
Ketika keduanya bersatu, saya merasa semua keresahan bangsa ini terwakili. Tidak ada satu kata pun, tidak ada lirik yang menggurui, tetapi justru karena itu ia terasa jujur. Ia membiarkan kita mengisi makna sendiri. Orang lain mungkin berkata, “musik apa ini, tidak ada vokalnya.” Tapi bagi saya, justru di situlah kekuatannya: ia memberi ruang. Setiap orang bisa menemukan dirinya di antara nada dan distorsi itu.
Ritual Malam yang Aneh
Malam menjadi panggung saya. Rokok yang terbakar, teh yang mendingin perlahan, dan musik yang memenuhi ruang kosong. Ini ritual kecil yang sederhana tapi penuh makna. Saya tidak berada di konser, tidak berteriak bersama massa, tidak berdiri di tengah keramaian. Saya hanya sendirian, mendengar, merasakan.
Dan anehnya, justru dalam kesendirian itu musik terasa paling jujur. Gitar meraung, biola menangis, dan saya duduk diam membiarkan semua itu masuk ke nadi. Ada bagian di mana kecepatan mencapai puncaknya, lalu tiba-tiba berhenti, memberi ruang pada biola yang sendirian. Di detik itulah saya merinding.
Seakan-akan hidup memang seperti itu: penuh kecepatan, penuh kejaran, penuh amarah, lalu pada akhirnya kita jatuh diam, hanya tersisa lirih nada yang mengingatkan kita pada luka dan keindahan.
Mengenang Nela, Menghadapi Riska
Malam ini musik tidak hanya berbicara tentang negeri saya atau dunia luar. Ia juga berbicara tentang saya sendiri—tentang cinta, kehilangan, dan keberanian untuk melangkah.
Nela, maafkan saya. Saya bukan ingin melupakanmu. Bagaimana mungkin saya bisa melupakan seseorang yang begitu membekas dalam hidup saya? Tapi saya harus melanjutkan hidup, harus menata masa depan. Musik metal x biola ini, dengan wujud tengkorak berjubah hitam yang memainkan biola bermotif abu-abu, seakan adalah wajah saya di masa depan: keras, dingin, tetapi tetap setia memainkan harmoni yang hancur.
Di dalam mimpi, kamu pernah datang kembali. Malam itu, kamu berkata, “lanjutkan hidupmu, lanjutkan masa depanmu.” Kata-kata itu sederhana, tetapi menembus jantung saya. Seakan kamu sudah berdamai, seakan kamu memberi restu agar saya berjalan bersama Riska.
Aku mencintaimu, Nela. Cintaku akan tetap bersamamu, meski aku bersama wanita lain. Itu terdengar kejam, saya tahu. Tetapi begitulah hidup: manusia menyimpan cinta di banyak lapisan, cinta yang tidak bisa dihapus begitu saja, cinta yang berubah bentuk namun tetap ada.
Riska adalah masa depan, ia hadir nyata, ia hadir dalam senyum, dalam percakapan, dalam tawa. Dan musik ini, entah bagaimana, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan: antara luka bersama Nela dan harapan bersama Riska.
Antara Amarah dan Keanggunan
Saya selalu terpesona oleh kontradiksi. Musik ini adalah contoh terbaik: amarah yang dibalut oleh keanggunan. Kehancuran yang ternyata bisa terdengar indah.
Bukankah hidup juga seperti itu? Kita marah, tapi juga lembut. Kita keras, tapi juga rapuh. Kita ingin menghancurkan, tapi juga ingin merangkul. Tidak ada manusia yang sepenuhnya satu sisi. Semua adalah percampuran.
Itulah yang membuat musik metal x biola terasa seperti kehidupan itu sendiri. Ia mengajarkan bahwa harmoni tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari perbedaan yang dipertemukan.
Musik Sebagai Obat Luka
Saya menyadari bahwa selama ini saya berusaha keras untuk melupakan luka dengan berbagai cara: dengan pekerjaan, dengan kesibukan, bahkan dengan diam. Namun, justru musik ini yang memberi jalan paling jujur.
Setiap nada biola adalah air mata yang tidak sempat saya keluarkan. Setiap raungan gitar adalah teriakan yang saya tahan terlalu lama. Musik ini membiarkan saya merasakan lagi, tetapi dengan cara yang tidak merusak. Ia memberi energi, bukan sekadar kesedihan.
Saya paham sekarang bahwa melupakan tidak berarti menghapus. Melupakan adalah mengubah luka menjadi bagian dari lagu kehidupan, sama seperti biola yang mengisi celah di antara gitar metal. Luka itu tetap ada, tapi kini ia menjadi musik.
Penutup: Kehancuran yang Indah
Jam terus bergerak. Rokok terakhir tinggal puntung, teh sudah dingin, tapi musik masih berputar. Saya tahu, malam ini akan menjadi salah satu malam yang saya ingat: malam ketika musik metal x biola kembali, malam ketika saya berdamai dengan luka, malam ketika saya menerima bahwa hidup memang tentang kecepatan, amarah, dan keanggunan yang hancur.
Tengkorak berjubah hitam itu masih memainkan biolanya dalam imajinasi saya. Ia adalah simbol dari hidup yang tidak sempurna, hidup yang penuh paradoks, namun tetap punya harmoni.
Saya berterima kasih pada Nela yang hadir dalam mimpi, berterima kasih pada Riska yang hadir nyata, dan berterima kasih pada musik ini yang memberi saya kekuatan untuk melanjutkan hidup. Cinta, luka, amarah, kelembutan—semuanya bercampur, sama seperti raungan gitar dan lirihnya biola.
Dan akhirnya saya mengerti: bahkan kehancuran pun bisa terdengar indah, jika kita berani mendengarnya.