Agustus sering kali datang dengan gegap gempita. Jalanan penuh warna, bendera merah putih berkibar di setiap sudut, dan suara tawa anak-anak bercampur dengan gema pengeras suara lomba tujuh belasan. Namun bagi saya, bulan ini bukan hanya sekadar perayaan kemerdekaan bangsa, melainkan juga ruang untuk merenungkan perjalanan hidup. Dalam satu bulan, begitu banyak peristiwa datang silih berganti—ada yang singgah sebentar, ada yang tinggal lebih lama dalam ingatan. Dari cinta yang kembali, rutinitas yang menenangkan, hingga mimpi yang membuka luka lama, semua berpadu menjadi catatan yang layak saya simpan.
ilustrasi vector catatan perjalanan bulan Agustus (gambar ilustrasi : Riska Ayu Pratiwi)
Riska yang Kembali
Sebuah perpisahan, betapapun singkat, selalu meninggalkan rasa sesak. Begitu pula saat saya dan Riska sempat menjauh karena satu dan lain hal. Rasanya seperti ada ruang kosong di dada yang tak bisa diisi oleh apa pun. Namun, hidup sering kali memberi kesempatan kedua dengan cara yang sederhana.
Hari itu, Riska mengajak saya bertemu di sebuah kafe kecil di daerah Buah Batu. Tempatnya sederhana, tidak jauh dari rumah barunya di Jalan Batu Api, dekat kantor Bandungbergerak—sebuah laman yang hampir setiap pagi saya baca. Pertemuan itu tidak diwarnai pesta atau bunga, hanya percakapan ringan ditemani secangkir kopi. Tapi justru dalam kesederhanaan itulah ada makna.
Riska meminta maaf atas kegaduhan yang sempat ditimbulkan keluarganya. Saya mendengarkan dengan tenang, lalu kami saling menatap sejenak. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya pengakuan tulus bahwa kami sama-sama masih ingin melanjutkan perjalanan ini. Dari situlah hubungan kami kembali terjalin, seolah perpisahan itu hanyalah jeda singkat dalam sebuah lagu panjang yang belum selesai dimainkan.
Cinta dari Sebuah Toko
Minggu bagi saya selalu dimulai dengan rutinitas: mencuci pakaian, membersihkan motor, mengelap helm, lalu berlari di tempat favorit. Ada kepuasan tersendiri saat tubuh berkeringat deras, jantung berdetak cepat, dan napas tersengal. Seakan-akan, dengan berlari saya sedang melarikan diri dari beban yang tak kasatmata.
Hari itu, setelah berlari, saya mampir ke sebuah warung kecil. Sambil meneguk air mineral dingin, saya mendengarkan Bond Quartet—musik biola dan cello yang entah bagaimana bisa membuat hati saya tenang. Rokok yang terbakar di tangan hanyalah pelengkap, semacam jeda sebelum kembali pada ritme kehidupan.
Namun hari itu tidak berakhir di situ. Telepon dari Riska mengubah arah langkah saya. Ia meminta saya menemaninya di toko. Saya pun berangkat, dengan earphone menutupi telinga agar suara knalpot bising tak merusak suasana hati.
Di toko, percakapan kami mengalir. Ada satpam yang mencoba mengungkapkan rasa pada Riska, ada kurir yang ekspresinya kurang menyenangkan, dan ada pula film yang kami tonton bersama. Dari The Oost yang membuatnya menutup mata ketika adegan ranjang muncul, hingga Oeroeg yang menghadirkan diskusi ringan soal jembatan Rancagoong Ciwidey—tempat yang selalu saya kunjungi dalam blusukan.
Hari itu, saya sadar bahwa saya tidak hanya hadir di toko untuk menemani. Lebih dari itu, saya hadir sebagai penjaga hatinya. Dalam ruang kecil itu, cinta tumbuh bukan dari hal besar, melainkan dari percakapan ringan, tawa singkat, dan kebersamaan yang sederhana.
Sabtu dan Sunda Sambillalu
Foto bersama dengan kawanbergerak.id, (Foto : Wahyudi Agus )
Kadang, hari-hari terasa mengalir begitu saja. Seperti Sabtu dan Minggu ketika saya menghadiri acara diskusi penerbitan buku karya HW Setiawan yang diadakan Bandungbergerak. Acara itu tidak heboh, tapi justru dalam kesederhanaannya ada makna. Saya menyimak, mencatat, lalu berfoto di Perpustakaan Bunga di Tembok.
Kehidupan tidak selalu harus penuh kejutan. Ada kalanya ia cukup hadir sebagai aliran tenang, memberi ruang bagi kita untuk bernapas dan sekadar menikmati keberadaan.
Kemerdekaan dan Kehangatan Cinta
Tanggal 17 Agustus tahun ini jatuh di hari Minggu. Bagi sebagian orang, itu berarti karnaval, lomba, dan perayaan meriah. Namun bagi saya, justru menjadi ruang untuk menyendiri sebentar. Saya memilih berlari di kompleks Mes UPTD BLK Manggahang. Tempat ini pernah digunakan sebagai lokasi isolasi Covid-19, dan ternyata Riska juga pernah menempatinya bersama keluarganya.
Saat video call, ia bertanya, “Kamu nggak takut lari di situ?”
Saya menjawab sambil tersenyum, “Dulu memang menakutkan, tapi sekarang justru jadi tempat favoritku.”
Percakapan sederhana itu mengalir begitu hangat, seakan menghapus jarak. Meski Riska tidak bisa saya temui langsung karena jalanan macet, namun momen singkat di layar ponsel sudah cukup menyalakan api cinta dalam dada.
Setelah berlari, saya memotret suasana karnaval dengan kamera ponsel. Bagi saya, dokumentasi bukan soal alat, melainkan soal kepekaan menangkap esensi. Di antara wajah-wajah gembira dan kostum warna-warni, saya merasa ikut merayakan kemerdekaan dengan cara saya sendiri—menyimpan momen dalam gambar.
Baca Juga : Mesin Raksasa, Kamera, dan Pilihan untuk Mundur
Keesokan harinya, saya menyempatkan diri ke toko Riska. Dari obrolan ringan dengan pembeli, minum teh chamomile, hingga membicarakan arsip SCP di blog saya, semuanya terasa begitu intim. Ada tawa ketika Riska membaca kisah tentang SCP-096 dengan wajah ngeri sekaligus penasaran. Dalam momen itu, saya sadar: kedekatan bukan selalu tentang fisik, tapi juga tentang bagaimana dua orang bisa berbagi dunia batin mereka.
Keheningan yang Mengikat
Ada satu momen di toko Riska yang tidak akan pernah saya lupakan. Ketika suasana mulai sepi, ia mengajak saya pindah ke ruang tengah. Hanya ada kami berdua. Riska menatap saya dengan mata yang seakan menembus jauh ke dalam diri saya.
“Honey, jangan gugup. Relax, seperti waktu lalu,” katanya pelan.
Saya menyisir rambutnya, mendekatkan wajah, dan membiarkan keheningan berbicara. Tidak ada kata-kata yang mampu menjelaskan momen itu. Hanya ada detak jantung, senyum samar, dan rasa yang sulit diurai. Hingga suara ketukan pintu memecah suasana, mengingatkan bahwa dunia luar masih ada.
Namun justru dalam keheningan itulah saya merasakan keterikatan yang kuat. Seolah waktu berhenti sebentar, memberi ruang bagi kami untuk saling memahami tanpa kata.
Kerinduan dari Sebuah Mimpi
Di balik semua kebahagiaan itu, ada satu malam yang membawa saya kembali ke masa lalu. Enam tahun sudah calon istri saya, Nela, berpulang karena penyakit yang merenggutnya terlalu cepat. Namun dalam mimpi, ia hadir kembali.
Saya melihatnya di ranjang hangat, tersenyum dengan tatapan yang selalu membuat saya berjanji untuk tidak pernah melepaskannya. Dalam mimpi itu, ia berkata bahwa ia rindu. Saya pun menangis, karena meski tahu itu hanya bunga tidur, rasanya terlalu nyata untuk diabaikan.
Saya menulis tentang Nela dengan nama lain, dengan wajah yang kubangun dari serpihan ingatan. Bukan untuk menggantikannya, melainkan untuk menjaganya tetap hidup di antara huruf-huruf.
Cinta pada Nela tidak pernah mati. Ia hanya berubah wujud—kadang menjadi kesedihan, kadang menjadi kekuatan, kadang menjadi doa yang saya bisikkan di malam sunyi. Kini, meski saya melangkah bersama orang lain, ruang untuk Nela tetap ada di dada saya. Tidak tergeser, tidak terganti.
Menulis tentangnya adalah cara saya merelakan sekaligus merawat kenangan. Jika benar ada pertemuan di ujung jalan, saya akan datang dengan langkah ringan, lalu kami bisa pulang. Bersama.
Penutup: Bulan yang Mengajarkan
Agustus bagi saya adalah bulan penuh warna. Dari perpisahan yang kembali menjadi pertemuan, cinta yang tumbuh di toko kecil, momen keheningan yang tak terucapkan, hingga mimpi yang menghidupkan kembali luka lama—semuanya bersatu membentuk mozaik kehidupan.
Saya belajar bahwa hidup tidak pernah berjalan lurus. Ia selalu berliku, menghadirkan tawa dan air mata dalam satu tarikan napas. Namun justru di situlah letak keindahannya.
Bulan ini telah memberi saya pelajaran: bahwa cinta bisa kembali meski sempat terputus, bahwa kebahagiaan bisa hadir dalam kesederhanaan, bahwa kenangan tidak pernah benar-benar pergi, dan bahwa hidup adalah perjalanan merangkul semua warna—hitam, putih, gelap, terang.
Harapan saya sederhana: semoga bulan berikutnya saya bisa melangkah lebih baik. Catatan ini mungkin hanya rangkuman, namun ia mewakili apa yang paling penting dalam hidup saya. Pada akhirnya, setiap huruf yang saya tulis bukan sekadar pengingat waktu, melainkan juga cara untuk berdamai dengan diri sendiri.
#catatanbulanan #esai #catatanperjalanan #bandungbergerak #opini
Kategori
Rangkuman Bulanan