Sebuah catatan dari alun alun Regol pasir luyu, taman yang berdiri di tengah perumahan elit kita bandung
Jembatan alun alun Regol / taman Regol pasir luyu bandung, di bawahnya terdapat sungai Cikapundung yang mengalir ( Foto : Saepul Permana )Di sudut selatan Bandung, berdiri sebuah ruang terbuka yang kini menjadi denyut kehidupan banyak orang: Alun-alun Taman Regol, Pasir Luyu. Taman ini mungkin tidak sebesar Gasibu atau semegah Alun-alun Kota Bandung dengan masjid agungnya, namun justru di sinilah saya menemukan fragmen kehidupan yang sederhana sekaligus penuh makna. Taman Regol berdiri di kawasan yang sejak lama dikenal sebagai perumahan elit. Jalan-jalannya rapi, rumah-rumah besar berjajar dengan pagar kokoh, namun di sisi lain, di bawah teduh pepohonan dan di sepanjang jalur pedestrian, hadir wajah lain kota: pedagang kaki lima, obrolan keluarga, tawa anak-anak, bahkan derap langkah orang-orang yang berlari mengitari taman.
Taman ini menjadi semacam ruang bersama yang menyatukan dua dunia: yang mapan dan yang sederhana, yang terburu-buru dan yang santai, yang sekadar singgah dan yang ingin menetap lebih lama. Dan yang paling indah dari semuanya, di samping taman ini mengalir Sungai Cikapundung, saksi bisu dari perjalanan panjang kota Bandung. Suara gemericik airnya masih terdengar, meski kerap bercampur dengan riuh rendah kehidupan manusia di atasnya.
Sungai yang Mengalir, Waktu yang Menyapu
Sungai Cikapundung mengalir di tepian taman alun alun Regol pasir luyu bandung ( Foto : Saepul Permana )
Saya duduk di bangku taman, menghadap ke arah Cikapundung. Dari sini, saya bisa merasakan betapa kontrasnya kehidupan kota. Di satu sisi, sungai ini membawa cerita lama tentang Bandung: tentang perkampungan, sawah, dan masa ketika airnya jernih dipakai untuk mandi atau sekadar mencuci pakaian. Namun di sisi lain, kini sungai ini berjuang keras menahan beban modernitas: limbah, plastik, dan kerak aktivitas manusia yang sering lupa bahwa sungai adalah urat nadi kehidupan.
Meski begitu, Cikapundung tetap mengalir. Ia seperti mengajarkan pada kita bahwa hidup ini bukan tentang sejernih apa diri kita, tapi tentang bagaimana terus bergerak, melewati batu-batu besar, belokan, dan bahkan kotoran yang menodai. Sungai mengalir bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia tahu bahwa berhenti berarti mati.
Saya jadi merenung, apakah manusia bisa setegar sungai? Apakah kita mampu terus berjalan meski penuh beban? Ataukah kita lebih sering mengutuk aliran yang keruh tanpa mau membersihkannya dari dalam?
Taman di Tengah Kehidupan
Di Alun-alun Regol, kehidupan sehari-hari hadir dalam beragam bentuk. Setiap sudutnya bercerita. Ada anak-anak yang berlarian di jalur jogging, wajah mereka basah oleh keringat namun dipenuhi tawa. Ada bapak-bapak yang bercengkerama sambil menyeruput kopi dari gelas plastik, ditemani rokok yang asapnya menari-nari terbawa angin sore. Ada pasangan muda yang duduk di bangku, berbagi cerita entah tentang masa depan atau sekadar drama kecil hari ini.
Saya juga melihat sekelompok ibu yang membawa tikar, membuka bekal sederhana, lalu makan bersama sambil bercanda. Sementara itu, seorang pria paruh baya tampak berlari dengan ritme konsisten, headphone menempel di telinganya, seakan ia sedang mengejar sesuatu yang tak terlihat.
Alun-alun ini bukan sekadar ruang terbuka hijau. Ia adalah panggung kehidupan. Setiap orang datang membawa peran, dan taman menjadi saksi bagaimana manusia saling berbagi, bertemu, atau sekadar melewati waktu.
Baca juga
Pedagang Kaki Lima: Wajah Lain Kota
Di sisi jalan, pedagang kaki lima berjejer. Ada yang menjual cilok dengan kuah kacang hangat, ada gerobak siomay dengan aroma khasnya, ada pula penjual minuman dingin yang botol-botolnya berembun di bawah terik matahari. Para pedagang ini bukan hanya pengisi ruang kosong, tapi juga denyut ekonomi rakyat yang sederhana.
Ironisnya, mereka hadir di kawasan yang dikenal elit. Ada kontras yang menarik: rumah-rumah megah dengan mobil mewah di garasi, namun di trotoarnya, pedagang kecil berusaha menambal hidup dengan dagangan serba pas-pasan. Justru di sinilah saya menemukan wajah Bandung yang nyata: sebuah kota yang memeluk semua lapisan, meski tak selalu adil.
Saat saya membeli segelas es jeruk dari seorang pedagang tua, ia berkata, “Alhamdulillah, kalau sore begini rame. Banyak yang lari, banyak yang jajan. Kalau nggak ada taman, saya nggak tahu bisa jualan di mana.” Kata-kata itu sederhana, tapi meninggalkan kesan dalam. Bahwa taman ini bukan hanya ruang rekreasi, melainkan juga ruang hidup.
Aktivitas yang Menyatukan
Setiap sore, taman ini seperti berubah menjadi miniatur kehidupan kota. Ada kelompok senam ibu-ibu yang bergerak serempak diiringi musik dangdut riang. Ada komunitas kecil yang mengadakan latihan taekwondo, anak-anak dengan seragam putih dan sabuk warna-warni berteriak penuh semangat. Ada pula acara keluarga, entah sekadar ulang tahun kecil atau piknik sederhana di bawah pohon rindang.
Yang menarik, semua aktivitas itu berjalan berdampingan. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan kelas sosial yang benar-benar terlihat. Orang kaya dan orang sederhana bisa sama-sama duduk di bangku taman, sama-sama menunggu senja. Taman ini menjadi bukti bahwa ruang publik punya kekuatan menyatukan orang-orang yang biasanya terpisah oleh pagar rumah dan perbedaan nasib.
Saya membayangkan, andai saja setiap sudut kota punya ruang seperti ini, mungkin orang tidak akan terlalu asing satu sama lain. Mungkin kita akan lebih mudah memahami bahwa di balik setiap wajah yang kita temui, ada cerita yang patut dihargai.
Senja di Regol
Sore itu, matahari perlahan turun di ufuk barat. Langit Bandung mulai berubah warna: dari biru terang menjadi oranye, lalu jingga, hingga perlahan memudar ke ungu. Di atas taman, burung-burung kembali ke sarang, meninggalkan garis-garis hitam di langit.
Saya duduk lebih lama, menikmati senja yang pelan-pelan menutup hari. Di samping saya, sepasang muda-mudi berbisik pelan, tangan mereka saling menggenggam. Di kejauhan, anak-anak masih berlarian, meski ibu mereka sudah memanggil pulang. Pedagang mulai merapikan dagangan, sementara lampu-lampu taman menyala satu per satu, menambah nuansa hangat di antara gelap yang datang.
Senja di Regol mengajarkan saya sesuatu: bahwa setiap pertemuan selalu menuju perpisahan, tapi itu tidak membuatnya sia-sia. Justru karena ada senja, pagi esok menjadi dinanti.
Refleksi: Bandung dan Kita
Dari Taman Regol, saya belajar melihat kota dengan cara yang lebih pelan. Bandung bukan hanya tentang kemacetan, pusat perbelanjaan, atau kafe yang menjamur. Bandung juga tentang ruang-ruang kecil di mana orang bertemu, berbagi, dan saling menyapa. Bandung adalah tentang sungai yang masih berjuang di tengah kota, tentang pedagang kecil yang bertahan di balik bayang-bayang perumahan elit, tentang keluarga yang masih menemukan kebahagiaan sederhana di atas tikar taman.
Hidup kita, seperti Taman Regol, adalah pertemuan antara kontras. Ada yang berlari, ada yang duduk diam. Ada yang sibuk mengejar, ada yang sekadar menikmati. Ada yang kaya, ada yang pas-pasan. Namun ketika semua itu bisa berbagi ruang, di sanalah kehidupan menemukan keseimbangannya.
Barangkali, kita pun perlu belajar dari taman ini. Belajar untuk membuka diri pada pertemuan yang berbeda, pada suara-suara yang tak selalu sama dengan kita, pada kehidupan yang tak selalu sesuai dengan ekspektasi. Karena pada akhirnya, kita semua hanyalah manusia yang sama-sama ingin merasa ada, merasa hidup, dan merasa diterima.
Penutup
Ketika malam tiba, saya melangkah meninggalkan Alun-alun Taman Regol. Sungai Cikapundung tetap mengalir di samping, pedagang masih ada yang melayani pembeli terakhir, dan di bangku taman, masih ada pasangan yang enggan beranjak. Semua itu membuat saya sadar: tempat ini bukan hanya sekadar taman. Ia adalah ruang pertemuan, ruang hidup, ruang refleksi.
Alun-alun Regol, dengan segala kesederhanaannya, telah mengajarkan saya bahwa kota bukanlah bangunan megah atau jalan-jalan besar. Kota adalah manusia. Dan selama manusia masih bisa bertemu di satu ruang, berbagi tawa dan cerita, maka kota itu masih punya harapan.
#desadankota #bandung #tamanregol #pasirluyu #fotografi #esai