Sindangsari: Potret Kenangan, Bayangan Masa Depan

 


Ada sesuatu yang tak tergambarkan saat kita kembali menapaki jejak masa lalu, terlebih jika tempat itu menyimpan riwayat keluarga dan rasa yang tak pernah benar-benar pudar. Hari itu, saya berjalan menyusuri Desa Sindangsari—sebuah desa di kawasan Manggahang, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Desa ini bukan hanya sepetak wilayah administratif di peta, melainkan tanah kelahiran ibu saya, tempat ia dibesarkan dengan nilai-nilai kesederhanaan, kedekatan dengan alam, dan kebersahajaan hidup.

Saya memulai perjalanan dari gerbang bertuliskan “Selamat Datang di Desa Sindangsari”, gapura yang berdiri tak jauh dari Gunung Munjul—bukit yang rendah namun menyimpan legenda dan jejak geologis. Di sini, saya berhenti sejenak. Gunung Munjul konon memiliki dua sisi cerita. Dari warga sekitar, saya mendengar kisah tentang Prabu Siliwangi yang dikejar anaknya, Kian Santang, karena perbedaan keyakinan. Prabu Siliwangi menolak untuk memeluk Islam dan memilih menghilang dalam keheningan gunung ini. Di sisi lain, para geolog menjelaskan bahwa Gunung Munjul terbentuk dari aktivitas vulkanik jutaan tahun silam, bagian kecil dari segmen Bukit Barisan Baleendah. Entah mana yang benar, namun satu hal pasti: Gunung ini memancarkan aura mistis dan sejarah yang tak kasat mata.

Saya mengambil beberapa potret Gunung Munjul sebelum melanjutkan perjalanan ke tengah desa. Di sisi gunung, berdiri SMKN 7 Baleendah. Saya mengarahkan kamera ke lanskap yang pernah menjadi hamparan sawah. Kini, sebagian besar lahan itu telah berubah menjadi pabrik. Sungguh kontras dengan ingatan masa lalu—sawah yang dulunya menyebar luas, kini tertutup pasir, batu, dan bangunan industri. Saya tak punya foto lamanya, tapi dalam ingatan saya, semuanya masih hijau, luas, dan terbuka. Di sisi lain pabrik, saya menemukan sisa sawah yang masih bertahan. Siluet mentari dari utara menyinari pucuk-pucuk padi, anak-anak terlihat bermain layangan, dan saya pun menangkap momen itu dalam satu potret penuh cahaya dan nostalgia.

Tak lama kemudian, saya melihat seorang wanita sedang mengusir hama di sawah. Dengan alat sederhana di tangannya, ia bergerak perlahan, telaten, penuh ketekunan yang nyaris tak terlihat di tempat-tempat urban. Saya memotretnya dari kejauhan agar tak mengganggu. Di dekat sana, saya melihat gapura bertuliskan RW 15—tanda bahwa saya telah masuk lebih jauh ke jantung Sindangsari. Di sini, suasana pedesaan masih terasa: suara jangkrik, angin yang lembut, dan wangi tanah yang tersiram matahari sore.

Saya terus melangkah ke arah utara, menuju kawasan dekat Komplek BSI. Di titik ini, saya memfokuskan kamera ke arah pegunungan. Hamparan sawah di depan saya mengarah langsung ke garis cakrawala, di mana dua puncak gunung tampak berdiri: Gunung Geulis dan Gunung Pipisan. Cahaya senja menyinari sebagian puncaknya. Di kejauhan, pegunungan Malabar tampak menyembul dari balik bukit barisan. Seolah-olah, ketiganya ingin mengatakan sesuatu. Dalam benak saya, mereka berkata:

"Kami adalah paku bumi. Kami menyangga hidupmu. Potretlah kami, renungkanlah ciptaan Tuhan."

 Saya mengganti lensa ke lensa ultra-wide dan menekan tombol rana: klik. Ketiga gunung itu kini abadi dalam bingkai foto, dan lebih dalam lagi, dalam ingatan saya. "Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari siksa api neraka," bisik saya dalam hati. Momen spiritual dalam senyap, di tengah keindahan alam yang tak banyak lagi ditemukan di kota.

Potret deretan pegunungan bagian selatan ( foto : Saepul Permana )

Lalu saya menyusuri jalan yang mengarah ke sungai kecil. Airnya mengalir ke Sungai Citarum. Namun sayangnya, di sisi kiri-kanannya, sampah menumpuk tak beraturan. Saya memotretnya dengan senyum getir, mencoba menyisipkan sedikit ironi dalam hati: “Latar belakang sungai plus-plus.” Mungkin sinis, tapi juga jujur. Ini adalah potret realitas kita—keindahan alam yang dirusak oleh kelalaian kita sendiri.



Saat hendak beranjak, seorang warga memanggil saya dari sebuah kebun kecil yang ditanami stroberi. Ia menyambut saya dengan ramah dan menawarkan secangkir kopi. Saya awalnya ragu, karena sedang mengurangi kafein. Tapi ini bukan kopi biasa—ini kopi Puntang, kopi dari Gunung Puntang yang harum dan dalam. Saya tak sanggup menolak. Duduk di atas tanah yang lembab, mengobrol santai, sambil menyeruput kopi dan mengisap rokok tipis, kami menghabiskan sore dengan kehangatan sederhana yang hanya bisa ditemukan di desa. Waktu nyaris maghrib saat saya pamit, mengucap terima kasih, lalu kembali melangkah.

Namun sebelum benar-benar pulang, saya memutuskan kembali ke Gunung Munjul. Kali ini, saya menaiki puncaknya. Dari atas sana, Sindangsari terbentang di bawah kaki saya. Angin senja berhembus lembut. Saya menyalakan sebatang rokok. Krek. Asapnya mengepul, menyatu dengan langit jingga. Hisapan demi hisapan saya tarik dalam, perlahan, sambil merenung.


Di bawah sana, sawah-sawah itu mungkin tidak akan lama lagi bertahan. Tanah-tanah produktif berubah menjadi perumahan dan pabrik. Saya tahu, ini bukan tentang menyalahkan siapa pun. Saya bukan aktivis lingkungan, bukan pula penolak pembangunan. Saya hanya seorang anak yang sedang menyimpan potret terakhir dari tanah kelahiran ibunya—sebuah kenangan yang mungkin, di masa depan, hanya akan hidup dalam foto dan tulisan.

Saya membayangkan: mungkinkah kelak suara jangkrik itu akan digantikan deru mesin? Mungkinkah aroma tanah basah itu tergantikan aspal panas? Dan apakah anak-anak di masa depan masih akan bisa bermain layangan di tengah sawah yang lapang?

Air mata saya menetes tanpa saya sadari. Sebuah rasa kehilangan yang belum terjadi, tapi terasa begitu nyata. Saya tidak sedang meratapi perubahan, saya hanya mencoba menyapa masa depan dengan kejujuran yang tenang:

"Lihatlah, ini dulu Sindangsari. Desa tempat ibuku tumbuh. Desa yang pernah hijau, pernah sunyi, dan pernah sangat hidup. Jangan lupakan itu."

 Saya menghela napas panjang. Hari mulai gelap. Dengan kamera di tangan dan perasaan yang tak menentu, saya menuruni gunung, menyusuri jalan yang sama, tapi dengan pandangan yang berbeda.

Catatan Penulis:

Tulisan ini saya persembahkan untuk ibu saya tercinta—semoga beliau senang membaca ini. Juga untuk almarhum nenek, kakek, dan buyut saya. Seandainya mereka masih ada, saya yakin mereka akan senang mengetahui bahwa tanah tempat mereka dulu berpijak masih saya kenang dan abadikan. Ini adalah secuil warisan untuk mereka, dan untuk keluarga saya yang lain—agar kita tak pernah lupa dari mana kita berasal.

Saepul Permana Hidayat

Merekam senyap dari balik lensa. Menyusun cerita dari langkah kaki dan cahaya. Di antara pasar tua, bangunan kosong, dan jalan tak bernama, aku menulis tentang yang terlupakan agar tidak benar-benar hilang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama