Menembus Keheningan Stasiun Radio Cililin: Napak Tilas di Antara Kabut, Sejarah, dan Diri Sendiri

 Menelusuri tempat bersejarah, dan bercerita tentang perjalanan menuju ke stasiun radio cililin, stasiun radio pertama dan tempat diamnya Westerling.

Bekas stasiun radio cililin, warga menyebutnya dengan gedung seng atau gedung tahu ( Foto : Saepul Permana )


Perjalanan kali ini terasa berbeda. Dari Manggahang, Baleendah, aku menyalakan motor dengan tujuan mengunjungi Stasiun Radio Cililin—sebuah bangunan peninggalan Belanda yang sudah lama menarik perhatianku. Namun menuliskan rute lengkapnya agak sulit. Nama-nama jalan seolah hanya melintas di kepala, tertinggal oleh kecepatan roda yang berputar dan angin yang terus mengiringi. Yang paling kuingat hanyalah ketika sampai di kawasan Cibisoro, tempat segalanya berubah menjadi lebih tenang dan indah.

Desa itu menyambutku dengan hamparan sawah hijau yang luas, berpadu dengan barisan pegunungan yang menjulang di kejauhan. Udara di sana lembap, segar, dan mengandung aroma tanah basah yang menenangkan. Aku berhenti di tepi jalan, menyalakan sebatang rokok, lalu duduk di atas motor sambil menatap ke arah lembah Cililin yang terbentang luas. Di hadapan keindahan itu, aku lupa pada kamera di tas. Tak ada satu pun foto yang kuambil. Aku hanya ingin menikmati momen itu seutuhnya—merasakan bagaimana alam berbicara dalam diamnya.

Dalam kesunyian itu, pikiranku melayang pada sebuah buku catatan perjalanan dari Inggris yang pernah kubaca—kisah seorang mantan tentara bernama Thomas Weterson. Dalam imajinasiku, ia berdiri di atas tanah asing, tubuhnya tegap, rambut cepak, mengenakan jaket kulit dan celana jeans, berdampingan dengan motor tuanya di tengah lembah pegunungan Turki. Entah mengapa, aku merasa dekat dengannya. Seolah aku sedang hidup dalam halaman kisahnya—seorang pengembara yang mencari makna di setiap jalan yang dilalui.


Ketika deru mesin motorku kembali menggema, aku membiarkan imajinasi itu terus berjalan. Di setiap tikungan dan tanjakan, aku seolah mendengar suara motor tua Thomas—berderak tapi gagah. Jalan menuju Cililin memang berliku dan menantang. Ada tanjakan curam, tikungan sempit, hingga turunan panjang yang memaksa tangan dan pikiran bekerja bersamaan. Namun justru di situlah kenikmatan sejati sebuah perjalanan terasa—ketika tubuh, pikiran, dan alam bergerak dalam satu irama.


Menjelang pukul delapan lewat tiga puluh, rasa kantuk mulai datang. Aku berhenti di sebuah Indomaret di pinggir jalan. Sambil menyesap kopi kaleng dan menghisap rokok, aku membiarkan diriku beristirahat di bawah atap toko yang sederhana. Tak lama kemudian, seorang pria dengan anaknya menghampiri.

“Dari mana, Kang?” tanyanya sambil menatap motorku.

“Dari Baleendah, mau ke Cililin,” jawabku.

Ia tersenyum. “Wah, jauh juga. Tapi pemandangan ke sana nggak pernah gagal bikin hati tenang, ya?”

Obrolan kecil itu terasa hangat. Kami berbincang tentang jalan, gunung, dan sedikit tentang blog perjalananku—Jalur Lensa. Percakapan sederhana di antara dua orang asing itu justru menjadi titik tenang dalam perjalanan panjangku—semacam jeda yang membuat segalanya terasa lebih manusiawi.

Ketika aku melanjutkan perjalanan, pegunungan Cililin semakin dekat. Kabut tipis mulai turun, menari di antara lembah dan pepohonan. Aku menepi lagi, kali ini bukan karena lelah, tapi karena tak ingin kehilangan momen. Dari titik itu, dunia terasa melambat. Semua hiruk-pikuk kota seolah tertinggal jauh di belakang. Yang tersisa hanyalah aku, motor tua, dan keheningan yang mengajarkan arti syukur.

Baca juga :

Tepat pukul sembilan tiga puluh, aku tiba di kawasan SMAN 1 Cililin, lokasi yang dulunya merupakan kompleks rumah dinas staf Stasiun Radio Cililin. Dari luar, bangunannya tampak seperti sekolah biasa, namun udara di sekitarnya terasa berbeda—hening, sedikit berat, seolah menyimpan sesuatu dari masa lalu. Seorang penjaga sekolah menghampiriku, menanyakan maksud kedatanganku.
“Saya hanya ingin napak tilas sejarah Stasiun Radio Cililin,” jawabku.
Ia mengangguk ramah dan mempersilahkanku masuk.

Langkahku perlahan menelusuri bangunan tua di belakang sekolah. Temboknya tebal, kokoh, dan masih mempertahankan bentuk aslinya meski beberapa bagian sudah mengalami pembaruan. Di ruang utama tergantung sebuah foto tua—menunjukkan rumah dinas itu pada masa kolonial. Pandanganku berhenti cukup lama di sana, membayangkan saat tempat ini masih hidup: suara generator, langkah para teknisi Belanda, dan mungkin, siaran pertama yang menembus udara pegunungan.

Namun ada sesuatu yang membuatku terdiam lama: sebuah nama yang muncul dalam artikel lama yang kubaca beberapa hari sebelumnya—Raymond Westerling.
Nama itu membawa gelombang sejarah kelam.
Ia dikenal sebagai komandan pasukan elit Belanda (Depot Speciale Troepen), yang pada akhir 1940-an memimpin operasi “bersih-bersih” di Sulawesi Selatan dan kemudian ditempatkan di Bandung Barat, tepatnya di Batujajar—tak jauh dari Cililin.
Menurut catatan sejarah, Westerling sempat tinggal di salah satu rumah dinas di kompleks Radio Tjililin. Dari sana ia mengatur pasukannya, dan beberapa sumber menyebutkan bahwa operasi-operasi militer berdarah di Gununghalu dan Pasir Angin juga bermula dari wilayah ini.

Membayangkan sosok itu berjalan di tanah yang sama dengan tempatku berdiri saat ini membuat dadaku sesak. Bangunan yang kini sunyi ini dulu mungkin menyimpan percakapan rahasia, strategi perang, atau bahkan tangisan yang tak terdengar. Cililin, dalam diamnya, menyimpan lapisan sejarah yang tak semua orang mau dengar.

Aku kemudian melangkah ke gedung berikutnya, yang oleh warga disebut Gedung Seng atau Gedung Tahu. Dari luar, bangunannya tampak megah tapi ringkih. Atapnya dipenuhi lembaran seng tua, sementara dinding bata dan pondasinya masih kokoh. Menurut cerita warga, nama “Gedung Seng” muncul karena bahan atapnya, sedangkan “Gedung Tahu” berasal dari masa ketika tempat ini sempat digunakan sebagai gudang produksi tahu.

Delapan pilar besar berdiri menopang langit-langit kayu jati yang masih kuat meski termakan usia. Di salah satu sisi ruangan, aku menemukan bekas dudukan mesin—semacam pondasi kotak dari beton. Barangkali di sanalah dulu mesin pemancar radio ditempatkan. Ventilasi udara tampak di hampir setiap dinding, menandakan betapa pentingnya sirkulasi bagi mesin-mesin yang bekerja siang malam. Lantainya masih menampakkan garis-garis yang tampak seperti bekas rel atau jalur kabel.

Menurut penuturan warga, suplai listrik untuk stasiun ini dulu berasal dari Curug Sawer, air terjun yang terletak di belakang kompleks. Bayangkan—di masa 1940-an, di tengah pegunungan dan lembah, sudah berdiri sistem radio yang cukup maju untuk ukuran zamannya. Di sinilah teknologi dan kolonialisme berkelindan, menghasilkan jejak yang sekaligus membanggakan dan menyakitkan.

Setelah puas berkeliling, aku menuju satu lokasi terakhir yang disebut-sebut sebagai bagian tersembunyi dari jaringan radio: Goa Rangkong. Warga bilang, jaraknya sekitar satu kilometer dari gedung utama, dan dulunya digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat stasiun, bahkan sebagai stasiun radio bawah tanah. Seorang warga bernama Pak Rudi bersedia mengantarku ke sana.

Perjalanan menuju Goa Rangkong tidak mudah. Jalanannya sempit, menanjak, dan di beberapa titik cukup ekstrem. Motor kami bergetar keras setiap kali melewati batu-batu besar di jalan setapak. Di kanan kiri tumbuh pohon pinus dan kopi, menciptakan aroma segar yang berpadu dengan kabut tipis siang itu. Aku sempat berpikir: betapa sulitnya dulu membawa peralatan berat ke tempat seperti ini.

Setelah berjalan kaki sekitar lima ratus meter, kami sampai di mulut goa. Dari luar, Goa Rangkong tampak seperti lubang hitam di perut bukit batu. Kedalamannya sekitar lima belas hingga dua puluh meter, cukup untuk menampung dua puluh hingga tiga puluh orang. Dinding dalamnya terasa lembap, namun kokoh. Di bagian ujung, lubang sempit tampak seperti terowongan yang mengarah entah ke mana.
“Dulu katanya di situ tempat penyimpanan mesin cadangan,” ujar Pak Rudi pelan.

Bagian mulut goa rangkong cililin ( Foto : Saepul Permana )

Aku menyalakan senter dan menelusuri bagian dalam. Di dinding batu tampak bekas pahatan kasar dan beberapa lubang kecil, mungkin bekas jalur kabel atau dudukan besi. Pondasi beton masih terlihat, mirip dengan yang ada di gedung utama. Di sekitar pondasi itu, aku membayangkan mesin radio kuno berderu, memancarkan gelombang yang menembus udara pegunungan.

Kini, semuanya diam.
Yang tersisa hanyalah bau lembap, sisa besi berkarat, dan pantulan cahaya dari air yang menetes di dinding batu.

Di luar goa, aku melihat sisa bangunan yang nyaris hancur—menurut warga dulunya digunakan sebagai tempat penyimpanan diesel. Kini bangunannya telah dijarah, besinya hilang, tinggal puing yang tertelan semak. Di titik itu, aku teringat satu kalimat dari video dokumenter Jejak Si Borik yang kutonton sebelumnya:

“Radio Tjililin bukan hanya simbol teknologi, tapi juga simbol kekuasaan—alat propaganda yang bersembunyi di bawah tanah agar tak mudah dijangkau bangsa sendiri.”


 Aku menatap ke arah mulut goa yang gelap. Ada ironi di sana. Sebuah tempat yang dulu dibangun untuk menyebar suara kini menjadi ruang bisu yang ditinggalkan. Tapi mungkin di situlah maknanya—bahwa sejarah tak selalu berteriak. Kadang, ia berbisik lewat reruntuhan, lewat udara yang lembap, lewat kesunyian yang terasa berat.

Ketika matahari mulai naik tinggi, aku memutuskan untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Motor kembali kuhidupkan, dan suara mesinnya terdengar berbeda—entah karena medan, atau karena pikiranku yang kini dipenuhi gema masa lalu. Di setiap tikungan, aku seolah masih mendengar gema siaran yang tak lagi ada, mungkin suara operator radio yang menyalakan mesin, atau mungkin sekadar hembusan waktu yang berusaha menceritakan ulang dirinya.

Dalam perjalanan pulang, aku tak lagi terburu-buru. Setiap hamparan sawah, setiap dinding tua, dan setiap desir angin serasa memiliki arti baru. Aku sadar, perjalanan ini bukan sekadar penelusuran sejarah, tapi juga cara untuk mengenali diriku sendiri—tentang bagaimana aku memandang masa lalu, bagaimana aku berdialog dengan keheningan, dan bagaimana aku belajar menghargai setiap detik yang berjalan perlahan.

Cililin memberiku lebih dari sekadar kisah tentang radio tua. Ia mengajarkan bahwa setiap tempat memiliki denyut yang tak pernah mati, hanya menunggu seseorang untuk mendengarnya lagi.

Dan hari itu, mungkin akulah yang beruntung menjadi pendengarnya.


#radiocililin #bandungbarat #raymondwesterling #goarangkong #sejarahcililin #catatanperjalanan #alam&gunung




Saepul Permana Hidayat

Merekam senyap dari balik lensa. Menyusun cerita dari langkah kaki dan cahaya. Di antara pasar tua, bangunan kosong, dan jalan tak bernama, aku menulis tentang yang terlupakan agar tidak benar-benar hilang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama