Jejak perjalanan di kampung jobang yang memiliki rekam jejak dari tragedi, geologi dan fakta dari masyarakat lokal.
Kolam jobang yang menyimpan kejadian tragedi. Seorang bocah berusia 14 tahun meninggal akibat tenggelam di kolam jobang, airnya tampak tenang tapi menyimpan bahaya ( foto : Saepul Permana)
Ada sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang dari sebuah tempat — meski tanahnya digali, bebatuannya dipahat, dan air menenggelamkan bekas luka di bawahnya. Semua meninggalkan jejak. Dan kali ini, langkah kakiku berhenti di sebuah kawasan kecil di Manggahang, Baleendah. Warga menyebutnya Kampung Jobang — sebuah nama yang terdengar sederhana, namun membawa banyak kisah di dalamnya.
Asal Nama dan Balong yang Menyimpan Luka
Tak ada catatan resmi yang menyebut siapa sebenarnya Bapak Jobang itu. Warga hanya mengatakan bahwa nama itu berasal dari seorang yang dituakan, mungkin sosok yang dulu membuka lahan pertama kali atau sekadar orang baik yang dikenang oleh banyak orang. Entah siapa pun dia, namanya kini melekat menjadi identitas kampung — bahkan kolam besar di tengah kawasan ini pun dikenal sebagai Balong Jobang.
Balong Jobang dulunya bukanlah kolam alami. Ia adalah bekas tambang batu. Dulu, warga menggali andesit dan basalt dari tanahnya — batuan keras yang digunakan untuk bahan bangunan dan pondasi. Namun seiring waktu, tambang itu bangkrut dan ditinggalkan. Hujan turun, air mengisi lubang-lubang besar, dan kubangan itu berubah menjadi kolam. Kolam yang indah dari kejauhan, tapi menyimpan bahaya di kedalamannya.
Air Balong Jobang dalamnya bisa mencapai dua belas meter. Di permukaan, tenang. Tapi di bawahnya, ada lumpur tebal dan sisa pahatan batu yang tajam. Tak sedikit nyawa melayang di sana, kebanyakan anak-anak yang berenang tanpa tahu bahaya yang mengintai. Yang paling kuingat adalah tragedi tahun 2015 — seorang bocah bernama Ardiansyah, empat belas tahun, tenggelam setelah bermain bola bersama teman-temannya. Ia sempat berteriak minta tolong, tapi tongkat yang diulur tak cukup panjang untuk menyelamatkannya. Tim SAR dan BPBD datang, menyelam di air keruh selama lebih dari sehari. Akhirnya, jasad Ardiansyah ditemukan di kedalaman, tepat saat jarum jam menunjuk pukul 12:45 siang.
Aku masih ingat kabar itu ramai dibicarakan warga. Bukan hanya karena tragis, tapi karena Balong Jobang seakan menegaskan bahwa tempat ini, di balik keindahan dan ketenangannya, menyimpan sisi kelam dari masa lalu — antara alam, tambang, dan manusia.
Menapak Jejak Batuan dan Waktu
Batuan kupas bawang yang berada di kawasan kolam jobang Manggahang, batuan yang mengalami pelapukan selama jutaan tahun ( Foto : Saepul Permana )
Beberapa tahun setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk berkunjung ke sana. Bukan hanya untuk bernostalgia, tapi ingin melihat lebih dekat bagaimana waktu mengubah tempat yang dulu digali manusia, kini digali kembali oleh kenangan.
Sore itu langit Baleendah agak muram. Awan tebal bergelayut di atas Gunung Geulis, seolah menahan hujan yang sebentar lagi turun. Aku berhenti di tepi Balong Jobang, menyalakan kamera, lalu menatap permukaannya yang berwarna hijau kehitaman. Di sekeliling kolam, tampak dinding batu tinggi dengan pahatan-pahatan bekas tambang. Ada yang halus, ada yang kasar, dan sebagian berbentuk vertikal seakan dikerat dengan parang raksasa.
Yang menarik, batuan di sana tampak tidak seragam. Di beberapa bagian terlihat lapisan-lapisan batu yang mengelupas seperti kulit bawang — sebuah fenomena yang dalam istilah geologi disebut batuan kupas bawang. Batuan seperti ini biasanya terbentuk karena proses pelapukan yang lama, terutama di kawasan bekas aktivitas vulkanik. Tak heran, karena Baleendah sendiri merupakan bagian dari satuan vulkanik Gunung Geulis, yang telah lama tidur namun meninggalkan rekam jejak panas bumi di perut tanahnya.
Aku menurunkan kamera, memotret perlahan. Tapi di tengah-tengah kesunyian itu, seorang bapak tiba-tiba menghampiri. Ia berkata dengan nada setengah berbisik,
“Kalau mau motret, harus izin dulu, Jang… soalnya di sini tempatnya angker.”
Aku menatap wajahnya yang sudah berkerut tapi penuh wibawa. Tak ingin berdebat, aku mengangguk hormat dan menjelaskan bahwa aku hanya ingin menelusuri sejarah batuan di kampung ini. Ia mengangguk pelan, lalu berkata,
“Ya sudah, asal izin. Soalnya kadang suka ada yang motret, tapi pulangnya sakit atau mimpi aneh. Di sini banyak yang percaya, tempat ini dijaga.”
Entah benar atau tidak, tapi ucapannya menambah lapisan lain dalam catatanku — lapisan spiritual di atas lapisan geologi. Mungkin seperti batu yang menumpuk, kisah manusia pun berlapis-lapis.
Baca Juga :
Menembus Gang dan Tebing
Aku menitipkan motor di rumah salah satu warga, lalu berjalan kaki menelusuri gang kecil yang menanjak menuju tebing. Di sana, bekas pahatan masih terlihat jelas. Ada cerukan yang seperti mulut gua kecil, lembab, dan beraroma tanah basah. Aku mendekat dengan hati-hati. Bukan takut akan makhluk halus, tapi lebih pada rasa waspada akan potensi longsor.
Setiap tetes air yang menetes dari batu mengingatkanku pada waktu — pelan, konsisten, tapi selalu bekerja. Batu yang tampak kuat pun bisa lapuk bila terus diterpa waktu. Sama seperti kenangan dan manusia.
Di salah satu rumah yang berdiri di dekat tebing, aku menemukan batuan unik — bentuknya menyerupai lelehan lava yang telah mengeras. Pemilik rumah, seorang ibu paruh baya, mengizinkanku memotret. Di sebelahnya, ada tumpukan batuan templek, batu pipih yang biasa dijadikan hiasan dinding rumah. Dari sana aku berpikir, bagaimana manusia dan alam sebenarnya saling meminjam: batu-batu yang dulu membentuk bumi kini jadi bagian dari tembok rumah yang melindungi manusia.
Aku melanjutkan perjalanan ke arah timur, menyusuri jalan setapak yang diapit rumah-rumah rapat. Di setiap gang, suara gonggongan anjing menggema. Aku hanya berkata pelan, permisi, setiap kali melintas di depan rumah orang. Di tengah kepadatan itu, aku teringat masa lalu: dulunya ini adalah area tambang yang sepi, hanya ada batu, lumpur, dan truk. Kini semuanya berubah menjadi kampung yang hidup, padat, dan penuh aktivitas.
Waktu memang tidak hanya mengubah batu menjadi tanah, tapi juga lahan tambang menjadi permukiman, dan kolam menjadi kenangan.
Benteng Batu dan Pertanyaan di Dalam Kepala
Perjalanan berlanjut ke arah timur, menuju tebing lain yang katanya terhubung dengan wilayah Caringin. Tebing itu menjulang seperti benteng alami. Permukaannya kasar, tidak halus seperti dinding di Balong Jobang. Aku memotret dari beberapa sudut dan bertanya-tanya dalam hati:
“Apakah di sini dulu pernah ada batuan columnar joint — batuan berbentuk segi enam atau delapan yang terbentuk dari pendinginan lava?”
Pertanyaan itu terus mengiang. Tak ada jawaban pasti, tapi mungkin memang benar. Bentuk bergelombang di tebing itu tampak seperti sisa pendinginan lava yang tidak sempurna. Geologi, bagiku, selalu punya sisi romantisnya sendiri — ia adalah kisah cinta antara waktu dan tekanan. Batu yang kita injak hari ini, sejatinya adalah lava yang membeku jutaan tahun lalu, menyimpan panas di dalam keheningan.
Dari atas tebing, aku melihat kampung di bawah: rumah-rumah yang berdiri rapat, atap seng berkilat, dan jalan sempit yang berkelok seperti labirin. Aku tersenyum kecil — tak heran kalau dulu anak-anak di sini memberi julukan “Kampung Konoha”. Sebuah humor lokal yang membuat suasana lebih ringan di antara kisah batu dan tragedi.
Kembali dengan Pelajaran
Menjelang sore, aku memutuskan untuk pulang. Kamera di tanganku penuh dengan foto: batuan kupas bawang, tebing bergelombang, Balong Jobang yang memantulkan langit muram, dan beberapa potret warga yang menatap heran ke arahku. Tapi yang lebih penting dari gambar-gambar itu adalah pelajaran yang tersimpan di dalam perjalanan.
Dari Kampung Jobang, aku belajar bahwa setiap tempat menyimpan dua hal yang selalu berjalan berdampingan — keindahan dan bahaya, kehidupan dan kehilangan, alam dan manusia. Kolam yang tenang bisa menelan nyawa. Tebing yang kokoh bisa runtuh. Tapi di balik semua itu, ada rasa hormat yang harus dijaga: hormat pada alam, pada sejarah, dan pada mereka yang hidup di dalamnya.
Aku juga belajar tentang sopan santun dalam menatap dunia. Dalam fotografi, kita sering kali terjebak ingin menangkap semua yang menarik, tanpa berpikir bahwa setiap tempat punya “penjaga”-nya — entah dalam arti spiritual, budaya, atau sosial. Ucapan bapak tua tadi tentang izin bukan sekadar takhayul, melainkan bentuk penghormatan terhadap ruang dan waktu. Kita hanya tamu yang singgah sebentar, sementara tempat-tempat seperti Jobang telah berdiri jauh lebih lama dari kita.
Kini, setiap kali aku melihat batuan yang mengelupas, aku tak hanya melihat proses geologi. Aku melihat cermin kehidupan: lapisan-lapisan yang terkelupas oleh waktu, menyisakan inti yang paling keras di dalamnya. Seperti manusia yang terus berubah, terluka, dan belajar — hingga akhirnya menemukan bentuk paling kokoh dari dirinya sendiri.
Kampung Jobang bukan sekadar catatan perjalanan geologi, tapi juga perjalanan batin. Di sana aku menemukan bahwa setiap batu punya cerita, setiap tebing punya ingatan, dan setiap nama kampung adalah doa yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dan mungkin, di antara bebatuan yang diam itu, masih terdengar gema suara seorang anak bernama Ardiansyah — yang menjadi bagian dari sejarah sunyi Balong Jobang.
Langit Baleendah sore itu mulai menguning, sinarnya memantul di permukaan kolam yang tenang. Aku menatap sekali lagi sebelum pulang, lalu berbisik dalam hati:
“Terima kasih, Jobang. Atas pelajaran tentang waktu, kesopanan, dan kehidupan yang terus mengalir — meski dari batu yang diam.”
#kampungmanggahang #manggahang #Baleendah #Bandung #desa&kota #Fotografi