Cerita pengalaman perjalanku mengitari jalan dan menikmati keindahan waduk Saguling
Keindahan waduk Saguling di atas ketinggian ( foto : Saepul Permana )
Hari Minggu itu, cuaca terasa seperti seseorang yang sedang bimbang mengambil keputusan. Matahari muncul sebentar, lalu menghilang di balik mendung tipis yang menggantung seperti kelambu kelabu. Ada momen ketika langit terlihat cerah, namun warnanya tetap pudar seolah menahan sesuatu. Aku berangkat dari rumah sekitar pukul delapan pagi, dengan satu tujuan yang sudah lama ingin kudatangi kembali: Waduk Saguling, bendungan yang berdiri sejak tahun 1980, bagian dari ambisi besar negeri ini untuk menyalakan cahaya bagi Pulau Jawa dan sekitarnya.
Aku tidak datang untuk mengulang detail sejarahnya secara akademik—itu semua bisa dicari di internet. Aku datang untuk merasakan ulang suara air, angin yang membawa kabar dari lembah, dan mungkin, bisik-bisik yang sering dikaitkan dengan kesan mistis dari masyarakat sekitar. Jalur Lensa, bagi diriku, bukan sekadar blog; ia adalah ruang untuk merekam rasa, jejak langkah, dan renungan pribadi, seolah menjadi jembatan antara dunia luar dan dunia batinku.
1. Briefing Asap Rokok dan Google Maps
Sebelum benar-benar menggerakkan motor, aku berhenti sebentar di Indomaret. Membeli roti, air mineral, dan sebatang rokok untuk dinyalakan sebelum perjalanan panjang. Ada ritual kecil di sana—menyalakan rokok sambil membuka Google Maps, membaca rute, memprediksi cuaca, dan memastikan perjalanan lancar. Google Maps memperlihatkan rute sekitar satu jam tiga puluh menit, dan dengan sisa kantuk yang tidak kumengerti asalnya, aku pun berangkat.
Perjalanan melalui Jalan Siliwangi, Pasar Baleendah, Dayeuhkolot hingga Mohammad Toha terasa familiar. Jalan nasional, seperti biasanya, menjadi favoritku—lega, lurus, meskipun penuh jebakan lampu merah yang kadang muncul tiba-tiba. Lengah sedikit saja, kita bisa bablas saat lampunya sudah merah. Namun perjalanan hari itu tidak kumaksudkan untuk diuraikan secara teknis. Nama-nama jalan seringkali melintas lalu hilang dari ingatan. Apa yang tersisa adalah sensasi, tidak selalu detail.
Seperti kenangan—yang kadang datang dengan jelas, kadang hanya bayangan.
Baca juga :
2. Isyarat Kantuk, Secangkir Kopi, dan Dua Dunia Fiksi
Sekitar pukul sepuluh, mataku mulai mengirim sinyal yang membuatku harus berhenti. Padahal aku tidur cukup semalam, tapi rasanya tubuh dan pikiran sedang tidak sinkron. Aku berhenti di sebuah warung kopi. Sekadar secangkir kopi hitam menjadi penyelamat agar perjalanan tidak berubah menjadi petaka.
Sambil menyeruput kopi dan menyalakan rokok, aku membuka tulisan-tulisan fiksi di ponsel. Dua judul yang sedang membangun dunia mereka masing-masing:
- Attack on Titan Universe: Thomas Pierlberg : Sosok prajurit Survey Corps yang tidak berasal dari garis resmi Titan Shifter. Tubuhnya dilapisi baja hitam, rantai melilit pinggang, dan sarung tangan logam yang bisa menghancurkan Titan hanya dengan satu pukulan. Ia adalah simbol dari kekuatan yang lahir dari penderitaan—anak yatim piatu yang dibesarkan dunia yang penuh kekejaman
- Cinta di Dasar Danau Purba : Kisah tentang Alex Jhon, pria berdarah Batak–Sunda yang menjalani hidupnya di Bandung. Latar keluarganya, pilihan-pilihannya, dan jalan hidupnya yang berliku mulai membentuk sosok yang rumit, keras, sekaligus rapuh. Sebuah tokoh yang kuciptakan sebagai refleksi betapa cinta, luka, dan ruang-ruang sunyi bisa membentuk karakter manusia.
Dua dunia berbeda ini kubawa bersama dalam perjalanan fisik menuju Saguling—seolah nyata dan fiksi sama-sama duduk di jok belakang motorku.
Karanganyar: Sawah Tenang, Bendungan Besar, dan Langit Kelabu
Perjalanan kembali kulanjutkan setelah mata terasa segar. Jalanan lengang, motorku melaju tanpa tergesa. Di kawasan Karanganyar, aku berhenti sejenak untuk memotret bentang sawah. Para petani sedang bekerja, membersihkan rumput, mengatur aliran air. Tidak jauh dari situ, tampak bendungan Saguling berdiri besar dan tenang.
Ada nuansa damai yang sulit dijelaskan. Air yang tampak tenang itu menyimpan cerita: tentang desa-desa yang dulu tergenang, tentang memori kolektif masyarakat, tentang mitos dan kabar angker yang beredar.
Motor kupinggirkan untuk mendinginkan mesin. Aku memotret beberapa sudut, mencoba menangkap atmosfer desa. Kadang, foto tidak bisa benar-benar membawa pulang suasana, namun setidaknya ia menjadi pengingat bahwa aku pernah berdiri di titik itu—di antara air, sawah, dan angin.
Saguling: Sunyi yang Tidak Sepenuhnya Sunyi
Di hadapan waduk Saguling, aku duduk di atas motor sambil memakan roti. Angin bertiup lembut, sesekali membawa aroma tanah dan air. Sebuah kapal lewat di kejauhan. Langit tetap kelabu, namun sinar matahari muncul sesekali, seperti seseorang yang ragu untuk datang sepenuhnya.
Aku menyalakan rokok. Asapnya membubung perlahan, menyatu dengan udara dingin waduk. Di momen-momen seperti ini, aku merasa dunia melambat. Pikiran menjadi jernih, meskipun hatiku tidak sepenuhnya sepi. Ada suasana yang sulit kutangkap dengan kata-kata, namun bisa kurasakan: semacam detak dunia yang berirama pelan.
Mungkin ini alasan aku suka berjalan sendiri. Sunyi memiliki kemampuan merawat jiwa yang lelah.
Jembatan Bucin: Kayu yang Berderit, Air yang Mengawasi
Setelah puas menikmati waduk, aku melanjutkan perjalanan ke sebuah jembatan sederhana yang sering disebut warga sebagai “jembatan bucin”—aku tidak tahu siapa yang memberi nama itu, dan tidak terlalu peduli. Bagiku, jembatan ini lebih mirip jembatan ujian mental.
Bangunannya dari kayu, dipadukan dengan drum-drum bekas sebagai pelampung. Saat roda motor melintasinya, kayunya berderit. Suara yang entah kenapa terdengar lebih ngeri dari langkah kaki di rumah kosong. Di kiri dan kanan, air waduk membentang. Tidak ada pagar tinggi, tidak ada sekat pengaman. Hanya kayu, drum, dan keberanian kecil yang menuntunku.
Melewati jembatan itu seperti melintasi batas antara dunia nyata dan dunia mistis.
Begitu memasuki desa di ujung jembatan, atmosfer berubah. Jalanan diapit deretan bambu yang tinggi, dan angin membuat daun-daun saling bergesekan, menciptakan suara yang membawa sensasi merinding. Masyarakat sekitar sering bilang Saguling adalah tempat angker, sarat cerita penampakan dan kejadian ganjil.
Tapi hari itu, entah kenapa, ketakutan itu tidak terlalu menikamku. Ada ketenangan lain yang lebih kuat.
Seakan alam ingin berkata: “Tak semua yang sunyi itu menakutkan.”
Puncak Kecil, Gubuk Sunyi, dan Percakapan Dengan Ibu Desa
Aku terus melanjutkan perjalanan mendaki sebuah bukit kecil. Jalan berupa tanah merah yang licin. Hanya suara langkahku dan deru napas sendiri. Tak ada orang lewat. Tidak ada aktivitas apa pun. Hanya hutan bambu dan udara lembab.
Di sebuah gubuk tinggi, aku berhenti. Dari sana, aku melihat panorama luas Saguling. Di kejauhan, tampak Stone Garden dan perbukitan kapur Padalarang. Meski berkabut, kehadirannya tetap terasa anggun.
Aku menyalakan rokok. Menikmati pemandangan sendirian. Sendiri, tapi tidak kesepian. Ada rasa damai yang sulit kugambarkan, seakan seluruh beban dunia meluruh sebentar.
Saat turun kembali ke desa, seorang ibu menatapku heran.
“Dari mana, Ujang?”
“Dari atas, Bu. Menikmati pemandangan.”
Ibu itu mengernyit, seakan tidak percaya. Ia berkata tidak banyak orang berani naik sendirian. Baginya, tempat itu angker. Banyak cerita yang beredar dari mulut ke mulut tentang suara-suara misterius atau sosok-sosok yang muncul di sela bambu.
“Mungkin iya angker,” jawabku sambil tersenyum kecil. “Tapi tenang juga, Bu.”
Kadang, angker dan tenang adalah dua sisi dari koin yang sama.
Pulang Bersama Bayangan Tokoh Fiksi
Saat motor kembali kutyalakan, awan sudah mulai gelap. Tanda hujan sebentar lagi turun. Di perjalanan pulang, aku merasakan sesuatu yang unik: seolah atmosfer Saguling menyatu dalam karakter fiksi yang sedang kutulis.
Alex Jhon, yang dalam cerita adalah mantan tentara Divisi Siliwangi, preman jalanan, lalu polisi—seakan menempuh perjalanan bersamaku hari itu. Jalanan lengang, bambu, jembatan kayu berderit, dan awan mendung seperti latar yang tepat untuk tokoh sekeras itu.
Sedangkan Thomas Pierlberg, dengan segala penderitaan dan kekuatannya, terasa seperti bayangan yang berjalan sejajar di samping motor—tenang, gelap, namun penuh harapan kecil yang tidak terlihat.
Kadang kita tidak menyadari, bahwa tokoh yang kita ciptakan adalah refleksi dari bagian diri yang belum selesai.
Penutup: Saguling, Sunyi, dan Diri yang Lebih Jernih
Perjalanan ke Saguling hari itu bukan hanya tentang tempat. Bukan tentang rute atau sejarah waduk. Bukan pula tentang mistis yang beredar dalam cerita rakyat. Ia adalah perjalanan kecil menuju ketenangan—di mana dunia fiksi, realitas, dan batin bertemu dalam satu garis waktu.
Aku sering merasa bahwa Jalur Lensa bukan hanya blog. Ia adalah lanskap batin, peta rasa, dan dokumentasi perjalanan yang membantuku berdamai dengan dunia. Dan Saguling, dengan segala lengangnya, kayunya yang berderit, bambu-bambu yang meliuk, serta ibu desa yang mengernyit heran, menjadi salah satu fragmen penting dalam perjalanan itu.
Di balik kabut tipis dan angin yang membawa aroma air, aku pulang dengan pikiran yang lebih jernih, dan dunia fiksi yang semakin hidup.
Dan mungkin, di suatu waktu, aku akan kembali ke Saguling. Bukan untuk menantang angkernya, tapi untuk menegaskan bahwa sunyi—jika didekati dengan hati yang benar—bisa menjadi rumah bagi siapa saja yang sedang mencari ketenangan.
Untuk melihat foto lainya folow
Instagram Saepul Permana
#saguling #bandung #catatanperjalanan #fotografi