Sasak Geulis: Jembatan yang Lelah Menanggung Waktu

Jembatan Dayeuhkolot ( foto Saepul Permana )

 Jembatan Dayeuhkolot, atau yang akrab disebut Sasak Geulis dalam bahasa Sunda, bukanlah sekadar hamparan beton dan besi yang menghubungkan dua titik. Ia adalah nadi yang pernah berdetak kencang dalam denyut sejarah Bandung, menjadi saksi bisu berbagai episode penting dalam perjalanan bangsa. Di bawah bayang-bayang kabut pagi dan riuhnya lalu lintas Citarum yang tak pernah benar-benar tenang, jembatan ini menyimpan lebih banyak cerita daripada yang tampak oleh mata.

Kini, jembatan itu tampak lelah. Girder-nya retak, tubuhnya sedikit membungkuk seperti orang tua yang kehabisan tenaga. Ia tidak lagi setegap dulu. Namun, justru dalam kerentaan itulah kisahnya semakin mengharukan—seakan ia berkata, “Aku pernah kuat, aku pernah berarti, dan aku pernah menjadi jalan bagi perjuangan.”

Jejak Kolonial, Lintasan Sejarah

Berdirinya jembatan ini tak lepas dari masa penjajahan kolonial Belanda. Dalam buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945, Dijkstra—seorang insinyur Belanda—menceritakan perjalanannya dari Batavia menuju Bandung hingga ke kaki Gunung Puntang, melewati jembatan sempit di Dayeuhkolot. Saat itu, jembatan belum seperti sekarang. Masih sempit, terbuat dari besi, dan hanya cukup dilalui satu kendaraan dalam satu waktu. Namun, daya tariknya sudah terasa sejak dulu. Dari jembatan itu, Dijkstra memandang lanskap pegunungan, hutan, dan geliat warga yang memanggul barang dagangan dengan bambu di bahu mereka.

Di matanya yang terbiasa dengan dataran rendah dan kanal-kanal Holland, Indonesia—terutama Bandung dan kawasan selatan—adalah dunia baru yang memesona dan misterius. Barangkali saat itu ia tak menyadari, bahwa jembatan yang ia lintasi kelak akan menjadi medan pertempuran, tempat di mana darah dan tekad anak bangsa tumpah, bukan hanya untuk menyeberang, tetapi untuk mempertahankan haknya.

Kobaran Api, Gugurnya Sebuah Jembatan

Maret 1946, Bandung terbakar. Peristiwa Bandung Lautan Api mengubah wajah kota menjadi lautan kobaran, menyisakan bara semangat yang tak padam. Dalam aksi bumi hangus itu, jembatan Dayeuhkolot turut menjadi korban. Para pemuda pejuang sengaja menghancurkannya demi menahan laju pasukan Belanda. Mereka tahu, jembatan ini bukan hanya penghubung fisik, tetapi juga jalur strategis militer. Ketika titian itu runtuh, harapan Belanda untuk menguasai Bandung selatan pun turut tersendat.

Bukan tanpa risiko. Sejumlah pejuang gugur. Beberapa di antaranya, seperti Mohamad Toha, memilih jalan sunyi: meledakkan gudang mesiu milik Belanda dan mengakhiri hidup demi kebebasan tanah air. Di sekitar jembatan ini, suara senapan pernah menggema, ranjau meledak, dan darah membasahi tanah. Sejarah yang tak tercetak di buku pelajaran sekolah, namun hidup dalam ingatan orang-orang yang pernah melintasinya.

Perayaan dan Perbaikan: Sebuah Harapan

Lima tahun kemudian, pada 29 Oktober 1951, jembatan Dayeuhkolot kembali berdiri. Beton bertulang menggantikan reruntuhan lama. Peresmiannya berlangsung meriah—karangan bunga, suara gamelan, permainan rakyat, hingga tamu-tamu terhormat hadir, seperti Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata dan Kolonel Sadikin. Warga datang berduyun-duyun, mengenakan pakaian terbaik seolah menyambut tamu agung. Seperti sebuah pesta penyambutan kembali jantung yang telah lama berhenti berdetak.

Jembatan baru ini tidak hanya simbol rekonstruksi pasca perang, tetapi juga pengingat bahwa kehidupan harus terus berjalan. Bahwa penghubung yang hancur harus dibangun kembali, tidak hanya demi mobilitas, tetapi demi keberlangsungan harapan. Dengan panjang 88 meter dan lebar 8 meter, jembatan ini menjadi urat nadi penting bagi aktivitas sosial dan ekonomi warga Bandung selatan.

Menjadi Medan Sejarah, Menjadi Luka Bangsa

Namun, tak semua catatan bisa dibersihkan dengan cor dan beton. Het Dagblad, dalam pemberitaannya pada 11 Juli 1947, mencatat bagaimana jembatan Dayeuhkolot menjadi titik panas dalam konflik antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda. Dua prajurit Belanda terluka di sana, dan serangan demi serangan dilaporkan terjadi. Bahkan surat kabar Nieuwsblad Van Het Zuiden menyebut para pejuang sebagai ekstremis—sebuah label bias kolonial yang menutup mata atas semangat merdeka para pemuda Indonesia.

Sebagai medan palagan, jembatan ini bukan hanya tempat berpindah dari satu sisi ke sisi lain. Ia adalah batas antara penjajahan dan kemerdekaan, antara diam dan melawan, antara takut dan harapan.

Kini, Sebuah Titian yang Menunggu Ajal

Waktu berjalan. Seiring zaman berganti, mobil-mobil melintas di atas jembatan itu, sepeda motor menderu, dan pejalan kaki berjalan tergesa. Namun, jika kau sempat berhenti sejenak di tengah jembatan dan menatap aliran Sungai Citarum yang kusam, kau akan mendengar bisikannya: “Aku lelah.”

Retakan-retakan di girder tak bisa ditutup dengan cat. Ia butuh perawatan, bukan hanya fisik tapi juga historis. Jembatan ini sedang diperbaiki oleh Pemda, tapi di balik itu ada pekerjaan rumah yang lebih besar: menjaga ingatan kolektif. Apalah artinya membangun ulang sebuah jembatan bila kita lupa bahwa ia dulu berdiri karena keberanian mereka yang tak takut mati?

Saat ini, masyarakat mungkin melewatinya tanpa tahu bahwa mereka melangkahi jejak darah dan air mata. Bahwa setiap sambungan baja dan potongan aspal pernah menjadi tempat berpijak para pahlawan. Di sinilah refleksi kita seharusnya bermula: dari sebuah struktur sederhana yang ternyata menyimpan kompleksitas luar biasa tentang identitas dan keberanian.

Lebih dari Sekadar Infrastruktur

Jembatan Dayeuhkolot adalah bukti bahwa infrastruktur tidak pernah netral. Ia membentuk, dibentuk, dan menjadi bagian dari dinamika sosial-politik. Ia bisa menjadi alat penjajahan, tapi juga simbol kemerdekaan. Ia bisa menjadi titik temu atau justru menjadi garis batas yang memisahkan.

Kini, saat banyak infrastruktur dibangun atas nama modernisasi dan efisiensi, penting bagi kita untuk mengingat bahwa membangun bukan sekadar urusan beton dan anggaran. Ia juga soal merawat nilai, sejarah, dan rasa hormat pada perjuangan yang melahirkan bangsa ini. Apa gunanya jalan bebas hambatan jika kita terputus dari masa lalu yang membentuk siapa diri kita?

Sebuah Doa untuk Jembatan yang Tua

Saya pernah berdiri di atas jembatan ini pada pagi yang dingin. Kabut masih menggantung di atas air, dan Citarum mengalir dengan tenangnya yang pura-pura. Di sisi kanan, kendaraan menderu. Di sisi kiri, pejalan kaki menunduk sibuk dengan gawai masing-masing. Tak ada yang berhenti untuk sekadar menengok jembatan yang mereka lintasi.

Saya berhenti, dan menatap retakan di besi. Saya seakan mendengar suara-suara masa lalu—teriakan pejuang, dentuman ranjau, tangis warga, dan riuhnya gamelan dari pesta peresmian puluhan tahun lalu. Semuanya seperti bergema di ruang waktu yang tak pernah benar-benar tertutup.

Jembatan Dayeuhkolot, engkau bukan sekadar penyeberangan. Engkau adalah pengingat. Bahwa untuk merdeka, ada yang harus hancur. Bahwa untuk membangun, ada yang harus diingat. Dan bahwa dalam setiap perjalanan menuju ke depan, kita tak boleh memutuskan tali sejarah yang mengikatkan kita pada akar.

Epilog: Menjaga yang Tua, Merawat yang Berarti

Kita hidup di zaman yang serba cepat. Jembatan-jembatan baru dibangun dalam semalam. Namun, yang tua dan bersejarah justru sering kali ditinggalkan, dianggap tak relevan lagi. Padahal, seperti halnya manusia, infrastruktur juga punya jiwa—terutama jika ia pernah menjadi bagian dari perjuangan sebuah bangsa.

Jembatan Dayeuhkolot boleh jadi akan diperbaiki, mungkin diganti total. Tapi marilah kita jaga maknanya. Jangan biarkan sejarahnya runtuh bersama reruntuhan fisiknya. Jangan biarkan ia sekadar menjadi catatan kaki dalam laporan teknis Dinas Pekerjaan Umum. Ia adalah narasi, ingatan, dan cermin bangsa.

Karena jika jembatan adalah penghubung, maka yang satu ini bukan hanya menghubungkan dua sisi kota. Ia menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Ia menghubungkan kita—dengan mereka yang sudah lebih dulu memperjuangkan tanah ini agar tetap bisa kita lintasi hari ini.

Saepul Permana Hidayat

Merekam senyap dari balik lensa. Menyusun cerita dari langkah kaki dan cahaya. Di antara pasar tua, bangunan kosong, dan jalan tak bernama, aku menulis tentang yang terlupakan agar tidak benar-benar hilang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama